Minggu, 06 Januari 2008

Dhuafa Keren yang Siap Berprestasi

Bagian kedua

Dinamika Seleksi

Program Beastudi Etos percaya bahwa realitas sosial para Etoser, adalah realitas jamak pemuda bangsa ini. Setiap tahun, program Beastudi Etos membuka pendaftaran calon Etoser. Dari tahun ke tahun jumlah peminat program ini terus meningkat. Ketika pertama kali dibuka pada tahun 2003, peminat program ini hanya 500 orang. Namun, sampai tahun seleksi angkatan 2007, jumlah peminat program ini tercatat 2348 orang. Padahal yang mampu diserap oleh program Beastudi Etos hanya 135 orang per tahun. Untuk tahun 2007, itu artinya terdapat paling tidak 2215 orang yang harus mencari peluang lain untuk kuliah. Angka 2348 dapat dipastikan dhuafa, sebab syarat dasar Beastudi Etos adalah dhuafa.

Selain dhuafa, program Beastudi Etos mensyaratkan prestasi akademik dalam merekrut Etoser. Nilai raport rata-rata 7 dan grafik prestasi tidak boleh turun, menjadi syarat kompetisi dalam program ini. Tidak jarang calon Etoser merasa prestasi mereka sudah cukup bagus, akan tetapi grafik raportnya ternyata tidak stabil. Maka iapun harus merelakan tempatnya untuk yang lain.
Sedemikian ketat persaingan untuk mendapatkan tempat menjadi Etoser, membuat calon Etoser menggunakan beragam cara agar lulus seleksi. Salah satu yang menarik adalah yang dilakukan oleh Dodi Gunawan. Calon Etoser ini berasal dari Bengkulu. Standar akademis Dodi tidak menjadi masalah. Ia lulus seleksi raport. Akan tetapi Ia khawatir untuk syarat seleksi yang lain. Oleh sebab itu, Dodi kemudian mendaftarkan datanya di lima daerah seleksi sekaligus. Hal tersebut diketahui ketika dilakukan kompilasi data calon Etoser. Data Dodi ditemukan di Jakarta, Bogor, Bandung, Semarang, dan Jogya. Hanya saja disayangkan Dodi tidak mampu menembus ujian penerimaan mahasiswa (SPMB). Ia pun gagal menjadi Etoser.

Ada kasus lain yang juga unik. Namanya Dewi dari Bandung. Ia lulus SPMB namun gagal dalam seleksi program Beastudi Etos. Setelah diteliti, ternyata Dewi salah dalam memilih fakultas di Universitas Padjajaran. Ia mengambil bidang statistik, yang tidak termasuk rekomendasi program Beastudi Etos. Ketika menghubungi Etos via telepon, suaranya dimulai dengan isakan. Dia lalu meminta mendapatkan perlakuan khusus. ”Kalau saya tidak diterima, saya pasti tidak akan kuliah Pak. Orang tua saya tidak mungkin membiayai kuliah saya”, demikian ucapnya terbata. Sayang sekali Dewi harus bersaing dengan kandidat yang juga lulus SPMB dan sesuai fakultasnya. Program Beastudi Etos dengan berat hati tidak bisa menerimanya. Akan tetapi ceritanya belum berakhir sampai di situ. Seorang yang mengaku paman Dewi menelpon Beastudi Etos untuk memastikan bahwa Dewi dari keluarga dhuafa. Tidak lama berselang orang lain yang mengaku tetangga Dewi melakukan hal yang sama. Demikian sampai empat kali terjadi dari orang yang berbeda-beda. Hal ini tentu menyesakkan dada kita semua. Keterbatasan anggaran memaksa program Beastudi Etos menjadi selektif dalam menetapkan Etosernya. Sekiranya mengikuti kemauan, ingin rasanya menyerap semua pemuda dhuafa berprestasi di negara ini.

Bersambung...

2 komentar:

Ardiansyah mengatakan...

walah2..seleksi etos semakin ketat dan semakin seru..2008 gmn ya??

mautahu mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.