Selasa, 15 Januari 2008

Dhuafa Keren yang Siap Berprestasi

Bagian Ketiga

Dari keterbatasan kepada Prestasi

Menyimak kisah Etoser, akan memudahkan kita memaknai nikmat dan kelapangan hidup. Alur cerita yang dipentaskan oleh para Etoser, mungkin hanya lintasan pemikiran ketika sebagian kita ingin menulis cerita kemiskinan. Bagi mereka kehidupan ini bukan peran skenario, yang hanya dipentaskan di kehidupan rekaan.

Ada satu kisah Etoser yang mencerminkan hal tersebut. Namanya Dwi dari Surabaya. Dalam kisahnya terungkap hal-hal yang mengharukan. Ketika lulus SMU besar harapannya untuk melanjutkan pendidikan. Sadar dengan keadaan ekonomi keluarganya, harapan kuliah tersebut dipendamnya dalam-dalam. Ayahnya adalah buruh tani lepas. Sementara Ibunya sudah lama terpisah tanpa berita. Dwi hanya mampu berdoa, dan doanya dikabulkan Allah. Ia kini menjadi salah satu Etoser terbaik yang dimiliki program Beastudi Etos.

Demikian penuturannya:
Dwi Ratnasari - Teknik Informatika - ITS
Etoser Surabaya Angkatan 2003

Subhanallah.. Alhamdulillah.. Allahuakbar..
Sungguh mengharukan.. Tiada huruf yang dapat kurangkai indah untuk melukiskan kebahagiaan di hati. Kebahagiaan atas segala karunia Allah sehingga saya bisa seperti sekarang ini. Menjadi sosok muslimah yang memiliki banyak cinta, cita, dan asa untuk meraih masa depan gemilang.
Saya anak kedua dari tiga bersaudara, tapi sejak umur 3 tahun hanya dibesarkan ayah sebagai anak tunggal di Kelurahan Jingglong, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Kedua saudara saya yang lain ikut ibu [broken-red]. Ayah cuma buruh tani, pekerjaan tiap harinya tidak tetap. Dengan hidup yang serba terbatas dan tak kenal kasih sayang ibu, tidak membunuh keinginan saya untuk terus maju.

Sejak SMP Ayah sudah menyerah membiayai sekolah saya. Namun dengan berusaha keras saya mampu membiayai diri sendiri dengan beragam beasiswa. Bahkan saya berhasil masuk SMP 1 Ponorogo - SMA 1 Ponorogo, sekolah unggulan di Kabupaten, dan selalu menjadi juara keras. Alhamdulillah..

Setelah lulus SMA, ada keinginan kuat untuk melanjutkan kuliah seperti kebanyakan teman di sekolah. Namun, kembali terhambat masalah biaya yang tidak ada. Orang tua sudah tidak mau memikirkan keinginan saya tersebut. Jangankan dukungan material, dukungan moral dan semangatpun tidak ada. Namun, hal itu yang justru menambah rasa optimis saya untuk ikut SPMB. Saya ingin menunjukkan bahwa saya mampu dan saya bisa untuk menjadi orang yang lebih baik. Dalam pikiran saya waktu itu adalah yang penting berusaha dulu. Soal diterima/ tidaknya itu urusan nanti. Alhamdulillah saya diterima di pilihan pertama, Jurusan Teknik Informatika, ITS, Surabaya. Setelah pengumuman penerimaan tes SPMB, kebimbangan itu muncul kembali karena begitu berat untuk menjalaninya.

Waktu pertama kali datang di ITS, kami melihat spanduk beasiswa untuk mahasiswa baru (Beastudi Etos). Ada harapan baru muncul. Setelah melewati serangkaian tes, Alhamdulillah saya diterima. Sujud syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT Yang Maha Cinta, Maha Kasih, dan Maha Sayang. Hanya karena-Nya-lah saya dapat kuliah dengan mendapatkan beasiswa Etos selama 3 tahun. Saya merasa banyak mengalami perubahan selama kuliah dan dibina di beastudi Etos. Karena selain mendapatkan bantuan biaya awal masuk kuliah dan SPP 1 tahun pertama juga biaya hidup bulanan selama 3 tahun, kita juga mendapatkan pelatihan pengembangan diri; yaitu pendalaman ilmu agama, pemantapan konsep diri, pelatihan leadership, komunikasi, manajerial keorganisasian, sosial kemasyarakatan, entrepreneurship, dll. Saya dulunya orang yang lemah dalam softskill; susah berkomunikasi, tidak percaya diri, sedikitnya ilmu agamanya, belum bisa berorganisasi dan bekerja dalam tim, kurang bisa bersosialisasi di masyarakat, dan problem-problem psikologis anak yang dibesarkan dari keluarga miskin dan juga mengalami kegagalan dalam menjaga keharmonisan keluarga. Namun sekarang, setelah mendapat pembinaan di Etos maupun di kampus, Insya Allah saya sudah menemukan solusi problem-problem tersebut dan berubah menjadi lebih baik. Berusaha menjadi hambanya yang lebih pantas dari waktu ke waktu.

Beastudi Etos mensyaratkan IPK diatas 2,75 dan mengembangkan kemampuan diri lain selain kuliah. Alhamdulillah tiap semester IPK saya selalu diatas 3. Tidak ada mata kuliah yang harus diulang. Saya berusaha untuk aktif secara organisasi maupun finansial. Semester awal, saya berusaha untuk mencari penghasilan lain di luar beastudi Etos sebagai guru pivat dan tenaga antar-jemput anak sekolah. Alhamdulillah ini bisa sedikit menambah penghasilan dan cukup untuk mejadi pengalaman susahnya mencari uang sendiri. Sedangkan secara organisasi selain aktif di Etos, Saya aktif di, organisasi mahasiswa SITC tingkat jurusan (Studi Islam Teknik Computer-Informatika) dan di HMTC (Himpunan Mahasiswa Teknik Computer-Informatika). Sedangkan di tingkat Institut saya aktif di BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) ITS selama 3 periode kepengurusan (Kestari periode 2004/2005, staf Departemen Luar Negeri periode 2005/2006, dan terakhir sebagai Sekretaris Menteri Departemen Riset dan Teknologi periode 2006/2007). Aktivitas organisasi saya anggap sebagai suatu kesenangan tersendiri. Berorganisasi membuat saya belajar banyak ilmu yang tidak bisa saya dapatkan di bangku kuliah. Selain itu juga sebagai penghibur (refressingI) di kala jenuh dengan perkuliahan.

Untuk meningkatkan kemampuan akademis, saya menjadi administrator salah satu Lab. di jurusan yaitu Laboratorium Pemrograman. Di sini saya memegang satu server untuk database yaitu server Oracle dan maintenance komputer 1 bulan sekali. Selain itu menjadi Asisten Praktikum Basis Data tahun 2006 dan selanjutnya menjadi Koordinator Praktikum Basis Data tahun 2007.

Selain itu untuk mengembangkan kemampuan analisis, saya mencoba untuk membuat karya tulis. Berbagai event lomba sering saya ikuti. Alhamdulillah dari berbagai lomba tersebut saya mendapatkan beberapa penghargaan seperti:
• Finalis Lomba Cipta Elektroteknik Nasional (LCEN) 2006 Bidang Biomedik oleh Himpunan Mahasiswa Teknik Elektro ITS pada bulan Mei 206
• Panitia Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) XIX ITS di Universitas Muhammadiyah Malang tanggal 24 - 29 Juli 2006
• Peraih Youth National Science & Technology Award pada acara “Festival Pemuda Berprestasi Tahun 2006 Bidang Iptek Berbasis Imtaq” oleh Kedeputian Bidang Pemberdayaan Pemuda, Kementerian Negara Pemuda dan Olah Raga Republik Indonesia pada bulan Desember 2006
• Penerima Dana DIKTI untuk pembuatan karya tulis PKMM (Program Kreativitas Mahasiswa Pengabdian Masyarakat) tahun 2006
• Penerima Anugerah Pemuda Berprestrasi Bidang Teknologi dan Peralatan Kesehatan oleh Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga Republik Indonesia dalam peringatan Hari Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 2007
Selain itu saya juga aktif di Tim Kepemanduan di ITS 2006 - 2007, yang bertugas memandu mahasiswa dalam membuat karya tulis ilmiah.
Dengan kepadatan aktivitas tersebut, merupakan tantangan tersendiri bagi saya untuk bisa menjalankannya. Keterbatasan biaya kuliah tidak membuat saya surut langkah. “Keyakinanku adalah Kekuatanku”. Keyakinan akan pertolongan-Nya membuat saya bangkit dan terus semangat untuk menjadikan diri berarti.. 'cause we are the future of the word! Saya hanya bisa berdoa dan berusaha semoga Allah memberikan kemudahan dalam setiap jengkal langkah ini. Menjadi sosok muslim yang bermanfaat dan memberikan kebanggaan bagi keluarga, lingkungan dekat, dan ummat. Amiiiinnn…….

- sedikit cerita dari seseorang yang dikasihani Allah-

Bersambung...

Minggu, 06 Januari 2008

Dhuafa Keren yang Siap Berprestasi

Bagian kedua

Dinamika Seleksi

Program Beastudi Etos percaya bahwa realitas sosial para Etoser, adalah realitas jamak pemuda bangsa ini. Setiap tahun, program Beastudi Etos membuka pendaftaran calon Etoser. Dari tahun ke tahun jumlah peminat program ini terus meningkat. Ketika pertama kali dibuka pada tahun 2003, peminat program ini hanya 500 orang. Namun, sampai tahun seleksi angkatan 2007, jumlah peminat program ini tercatat 2348 orang. Padahal yang mampu diserap oleh program Beastudi Etos hanya 135 orang per tahun. Untuk tahun 2007, itu artinya terdapat paling tidak 2215 orang yang harus mencari peluang lain untuk kuliah. Angka 2348 dapat dipastikan dhuafa, sebab syarat dasar Beastudi Etos adalah dhuafa.

Selain dhuafa, program Beastudi Etos mensyaratkan prestasi akademik dalam merekrut Etoser. Nilai raport rata-rata 7 dan grafik prestasi tidak boleh turun, menjadi syarat kompetisi dalam program ini. Tidak jarang calon Etoser merasa prestasi mereka sudah cukup bagus, akan tetapi grafik raportnya ternyata tidak stabil. Maka iapun harus merelakan tempatnya untuk yang lain.
Sedemikian ketat persaingan untuk mendapatkan tempat menjadi Etoser, membuat calon Etoser menggunakan beragam cara agar lulus seleksi. Salah satu yang menarik adalah yang dilakukan oleh Dodi Gunawan. Calon Etoser ini berasal dari Bengkulu. Standar akademis Dodi tidak menjadi masalah. Ia lulus seleksi raport. Akan tetapi Ia khawatir untuk syarat seleksi yang lain. Oleh sebab itu, Dodi kemudian mendaftarkan datanya di lima daerah seleksi sekaligus. Hal tersebut diketahui ketika dilakukan kompilasi data calon Etoser. Data Dodi ditemukan di Jakarta, Bogor, Bandung, Semarang, dan Jogya. Hanya saja disayangkan Dodi tidak mampu menembus ujian penerimaan mahasiswa (SPMB). Ia pun gagal menjadi Etoser.

Ada kasus lain yang juga unik. Namanya Dewi dari Bandung. Ia lulus SPMB namun gagal dalam seleksi program Beastudi Etos. Setelah diteliti, ternyata Dewi salah dalam memilih fakultas di Universitas Padjajaran. Ia mengambil bidang statistik, yang tidak termasuk rekomendasi program Beastudi Etos. Ketika menghubungi Etos via telepon, suaranya dimulai dengan isakan. Dia lalu meminta mendapatkan perlakuan khusus. ”Kalau saya tidak diterima, saya pasti tidak akan kuliah Pak. Orang tua saya tidak mungkin membiayai kuliah saya”, demikian ucapnya terbata. Sayang sekali Dewi harus bersaing dengan kandidat yang juga lulus SPMB dan sesuai fakultasnya. Program Beastudi Etos dengan berat hati tidak bisa menerimanya. Akan tetapi ceritanya belum berakhir sampai di situ. Seorang yang mengaku paman Dewi menelpon Beastudi Etos untuk memastikan bahwa Dewi dari keluarga dhuafa. Tidak lama berselang orang lain yang mengaku tetangga Dewi melakukan hal yang sama. Demikian sampai empat kali terjadi dari orang yang berbeda-beda. Hal ini tentu menyesakkan dada kita semua. Keterbatasan anggaran memaksa program Beastudi Etos menjadi selektif dalam menetapkan Etosernya. Sekiranya mengikuti kemauan, ingin rasanya menyerap semua pemuda dhuafa berprestasi di negara ini.

Bersambung...

Selasa, 01 Januari 2008

Dhuafa Keren yang Siap Berprestasi

Bagian Pertama

Potret Bangsa yang Terlupakan

Mengelola program Beastudi Etos adalah mengelola realitas Indonesia. Program ini, tidak sekedar menjadi fasilitator dana muzakki. Lebih dalam ia membentuk satu komunitas. Ia menghimpun asa anak bangsa yang mencuat di atas keyakinan yang goyah. Harapan yang tersisa dari besarnya rasa putus asa untuk melanjutkan pendidikan. Ayah Buruh harian dan Ibu tukang cuci panggilan, adalah status yang bahkan lebih murah dibanding harga pagar mewah universitas. Hal tersebut masih diperlemah oleh sikap pasrah masyarakat. Komentar miring ”Miskin aja mo kuliah, ya mbok ojo neko-neko to nduk, kasian Pa’e dan Bu’e”, sangat jamak diterima para mahasiswanya. Namun mereka masih tetap mencoba untuk dapat kuliah. Mereka menekan rasa sanksi dan setengah putus asa, mempercayai sebuah peluang kecil, sepotong informasi dari sepotong halaman koran sisa bungkus jajanan, tentang beasiswa. Seperti itulah realitas umum penerima beasiswa ini.

Berada di dalam komunitas Beastudi Etos, memberikan makna hidup dari angka statistik kemiskinan Indonesia yang 38% itu. Kita akan membaca angka tersebut di tengah ungkapan yang tidak pernah terbayangkan oleh sebagian orang. Ibu Sri Nurhidayah, Direktur LPI menceritakan pengalamannya sehari ditemani Etoser, ”Saya terkejut ketika seorang Etoser (sebutan untuk penerima beasiswa Etos) Universitas Andalas menyatakan, ’Terima kasih ya Bu, baru hari ini saya merasakan makan 3 kali sehari”. Bahwa bagi sebagian orang, makan 3 kali sehari adalah kebiasaan. Namun ada sebagian lain menjalaninya sebagai sebuah kemewahan.

Potret kemiskinan yang dijalani Etoser, adalah ’pernik’ buram yang tertekan gemerlap gaya hidup mahasiswa yang dipasarkan oleh media massa. Mereka bukanlah mahasiswa ala sinetron yang pulang pergi kampus dengan kendaraan pribadi. Mereka tidak menghabiskan cukup banyak waktu di kantin kampus. Mereka tidak terjebak dalam gaya hidup keluar malam untuk kesenangan. Mereka terjun dalam aksi sosial kemiskinan bukan sebagai orang yang berjarak dengan realitas tersebut, melainkan bagian dari realitas tersebut. Saat mahasiswa dengan mudah membayar 10 ribu untuk sarapan, Etoser menyimpannya untuk kebutuhan foto copy bahan kuliah dan internet. Sementara sarapan... jelas tidak semewah harga itu.

Namun apakah dengan semua itu mereka merasa rendah diri. Sama sekali tidak. Komunitas ini menawarkan senyum tulus tentang kehidupan. Mereka menerima kemiskinan seperti kita menerima hujan dan panas setiap hari. Mereka memandangnya sebagai sebuah fakta yang harus di hadapi. Lalu dari kenyataan itulah mereka hidup dan membangun dirinya. Mustahik hari ini adalah muzakki hari esok menjadi misi mereka. Jika ingin belajar menghargai kesempatan, kepada mereka kita bisa bercermin.

Meskipun potret Etoser adalah anomali gaya mahasiswa di sinetron, namun prestasi mereka sama normalnya dengan mahasiswa lain. Dari gaya keseharian mereka, orang pasti tidak akan pernah menyangka bahwa mereka berbeda. Diskusi, riset, kompetisi karya ilmiah, dan prestasi akademik, serta aktivias organisasi dalam dan luar kampus, tidak menyisakan warna kemiskinan pada diri mereka. Tahun 2007, ketika Universitas Indonesia menyelenggarakan pemilihan raya untuk lembaga BEM UI, seorang Etoser Jakarta, Bashori (FE UI ’04) mampu tampil dengan elegan. Meskipun akhirnya yang menang adalah kandidat lain, namun kita bisa mempercayai, bahwa jika diberi kesempatan, mahasiswa dengan latar dhuafa juga mampu bersaing dan berprestasi. Pembuktiannya dilakukan oleh Etoser lain dari Jogya, Budianto (FH UGM ’04). Akhirnya Budianto terpilih sebagai presiden BEM UGM.

Program Beastudi Etos mengelola realitas tersebut, untuk menegaskan kepada masyarakat bahwa kemiskinan bukan jalan buntu kehidupan. Program Beastudi Etos bahkan menjadikan kemiskinan sebagai titik tuju perubahan. Dari realitas kemiskinan itulah program Beastudi Etos menetapkan tujuan pertamanya, yaitu memutus rantai kemiskinan. Sementara semangat para calon Etoser untuk membangun diri, merubah hidupnya, dan berprestasi, difasilitasi sebagai tujuan kedua Beastudi Etos, yaitu menghasilkan generasi mandiri.

Bersambung...