Senin, 23 Juni 2008

Pendidikan Indonesia = Dunkin Donut

kita akan memasuki 63 tahun usia kemerdekaan, dengan barisan panjang pengemis pendidikan di depan gedung mewah kampus dan sekolah-sekolah, yang merah putih berkibar-kibar di sana

“… Pada akhirnya pengelolaan pendidikan harus disandarkan pada potensi masyarakat…”
Secara pragmatis, pernyataan tersebut sah, wajar, dan tidak mengandung permasalahan. Akan tetapi, jika di kaji lebih dalam, maka ada kesan lepas tangan negara dari tanggung jawab yang diamanahkan UUD 1945. Subsidi pendidikan direduksi, dan biaya pendidikan diserahkan ke masyarakat. “Mencerdaskan kehidupan bangsa…”, kini tidak lagi sepenuhnya kewajiban negara, melainkan juga menjadi kewajiban masyarakat.

Setelah Format BHMN diberlakukan untuk Perguruan Tinggi, saat ini level pendidikan formal di bawahnya sedang menunggu RUU BHP (Badan Hukum Pendidikan). Ketika RUU BHP berhasil disahkan, maka berlakulah pasar terbuka untuk bidang pendidikan. Satu alur rekayasa generasi yang mensuplai SDM produktif bangsa, kini tidak lagi dikuasai oleh bangsa.

Kekhawatiran banyak kalangan atas terjadinya komersialisasi pendidikan sangat wajar. Selain pendidikan berpotensi menjadi komoditi, model seperti ini akan memilah masyarakat ke dalam strata pasar. Ada captive untuk yang pasti mampu membeli; ada swing untuk yang mampu tetapi mikir-mikir, dan ada kelompok masyarakat yang akan menjadi pengemis pendidikan. Sama seperti kedudukan pasar terhadap Dunkin Donut. Bedanya, jika donat, tidak semua masyarakat butuh, sementara pendidikan jelas kebutuhan asasi masyarakat.

Menolak UU jelas tidak produktif. Saat ini, yang perlu dikawal adalah bagaimana seharusnya penafsiran terhadap konteks ‘potensi masyarakat’. Jika penafsirannya adalah menaikkan biaya pendidikan, maka sengsaralah masyarakat. Mereka yang secara struktural termiskinkan akibat tidak meratanya kepemilikan modal dan kesempatan berusaha. Apalagi kelak, modal untuk memiliki skill melalui pendidikan semakin tidak terjangkau.

Di tengah kekacauan penafsiran potensi masyarakat sebagai unsur andalan dalam membiayai pendidikan, maka LPI Dompet Dhuafa menawarkan satu alternatif. Di lembaga ini, ada SMP-SMU gratis (SMART EI), Beasiswa Mahasiswa (etos), dan training pendidikan Guru dan Sekolah (Makmal). Dengan model seperti ini, masyarkat tidak saja bisa menikmati ‘donut’, tapi juga bisa bermetamorfosis menjadi pemilik ‘donut’, tanpa harus terbebani untuk menjangkau harga belinya yang sudah sangat mahal.

Kami mengajak semua kalangan pengelola pendidikan, untuk serius merumuskan potensi masyarakat dalam membiayai pendidikan. Jika kita salah dalam rumusannya, maka kelak bukan saja pengemis BLT, minyak tanah, dan sembako yang rame ngantri di tepi jalan. Melainkan kita akan memasuki 63 tahun usia kemerdekaan, dengan barisan panjang pengemis pendidikan di depan gedung mewah kampus dan sekolah-sekolah, yang merah putih berkibar-kibar di sana. Wallahu’alam.