Minggu, 16 Desember 2007

Etoser Dhuafa Itu Main Tanah di Jerman

Di Indonesia, Bhinuri adalah potret bibit unggul yang bertemu lahan subur. Maka ia tumbuh dan berkembang dengan indah. Di Negara ini, stock bibit unggul tak berhingga, tapi lahan subur, susahnya minta ampun.

Namanya Bhinuri Damawanti. Ketika lolos seleksi etos dia tersenyum. Tapi wajah lugu dengan sikap tidak percaya dirinya tidak bisa disembunyikan. Saya yakin dia ingin lompat dan berteriak girang menyandang status etoser. Bayangkan saja, ia salah satu dari 116 orang yang menyisihkan total 1500 peminat beastudi etos. Namun itu tidak dilakukannya. Ia menuangkan semua asa dan rasanya saat itu dengan sujud syukur yang dalam.

Sejak awal di komunitas etos, Bhinuri Damawanti sudah menonjol. Nilai kelulusan seleksinya 37 point dari standard 27 point. Sangat dominan. Padahal, etoser yang nomor id etosnya 0442048 ini, adalah anak dari sepasang orang tua dhuafa dan tidak memiliki pekerjaan tetap. Harapan kuliah sebenarnya mendekati hal mustahil baginya, mengingat biaya kuliah yang tak terjangkau. Karenanya, ketika tahu dirinya berhak menyandang gelar etoser, Ia menerimanya sebagai sebuah kemewahan yang wajib disyukuri.

Di asrama etos, gadis Srondol Wetan ini juga adaptif. Semua tuntutan pembinaan untuk berprestasi akademik, organisasi, dan ekonomi, dijalankannya lebih sebagai tantangan daripada tuntutan. Urusan pendidikan agama, gak perlu ditanya. Komitmennya sebagai muslimah dibawanya kemana-mana. Makanya jangan heran, Etoser FKM 04 Undip ini dikenal sebagai aktivis organisasi. IIWC PKBI adalah wadah yang memfasilitasi karakter leadershipnya. Dan yang menarik, ia mematahkan stigma aktivis IPK ‘tipis’, sebab saat ini IPKnya 3,25.

Pagi hari ini, mungkin Bhinuri sedang berada dalam diskusi menarik di sebuah kota kecil dekan Hamburg. Kemarin Ia cerita, bahwa dirinya berkumpul 12 orang, dari turki, finlandia, prancis, mexico, kenya, chechnya. “Kita disini bikin taman, dan itu berarti gali lubang...ratakan tanah....mana sering ujan disini.” Bhinuri sering kedinginan, terutama untuk melaksanakan shalat subuh, “Aku sholat subuh jam 4 pagi, dzhur jam 12.30, ashar jam 5.30, maghrib jam 10.30, dan isya jam 12.30. Karena sunrise jam 4 dan sunset jam 10.30, SUSAHNYA MINTA AMPUN , karena dinginnya pas bangun jam 4… mana ngantuk, baru tidur jam 12. Jerman, meskipun summer, cuacanya berubah2, kadang hujan. Pernah nyampe 15 derajat.”.

Bhinuri Damawanti, etoser Semarang yang menjadi duta Indonesia dalam kegiatan Workcampleader tahun 2007 ini. Di Frounhasen, antara marburg dan Frankfurt, ia didaulat untuk presentasi tentang Indonesia. Tanggapan teman-temannya dari negara lain beragam, namun “Yang jelas mereka apreciate ma Indonesia, dan agak shock bener2 ketemu muslim”, katanya. Tapi, bukan Cuma itu loh, etoser kita ini juga Menari dan Ndalang serta Mbatik.

Diakhir emailnya Bhinuri bercerita “aku ketemu muslim disini, kebanyakan orang turki, tapi ya gitu deh… kayak orang Indonesia, kadang sholat atau malah gak sholat… Temenku yang dari turki pas workcamp juga muslim tapi dia gak kudungan gitu. Ya doain aja... aku bisa bikin good image muslim kayak di seminar minggu kemaren”.

Hari ini, wajah dhuafa Bhinuri sudah tidak bersisa. Rasa tidak percaya diri yang dahulu menonjol, ibarat daun awal yang gugur bersama tumbuhnya daun kepercayaan diri baru. Kini Bhinuri berdiri di atas kaki yang sama, tetapi rasa diri yang berbeda. Anak dhuafa itu adalah wakil Indonesia di komunitas internasional. Dalam dunia etosernya, ia belajar, dhuafa bukanlah masalah, melainkan fakta. Hadapi saja dan ubah ia. Bhinuri bersama 307 etoser lain mengemban misi program etos, mustahik hari ini-muzakki hari esok.

Di Indonesia, Bhinuri adalah potret bibit unggul yang bertemu lahan subur. Maka ia tumbuh dan berkembang dengan indah. Di Negara ini, stock bibit unggul tak berhingga, tapi lahan subur, susahnya minta ampun. Tahun 2007 saja, bibit unggul yang berebut tumbuh lewat Beastudi etos LPI Dompet Dhuafa 1740 orang. Padahal lahan yang tersedia hanya untuk 135 orang. Maka menjadi benarlah kata teman saya, “Dermawan di Indonesia, ikhlas saja tidak cukup, tapi bagaimana menjadi Dermawan yang cerdas”
Wallahu ‘alam (BS)

Kamis, 13 Desember 2007

Mencari SDM Unggul, Sebuah perspektif

Paradoks media
Sinetron Keluarga Cemara adalah sedikit dari sekian banyak sinetron yang menayangkan realitas Indonesia. Ia menjadi satu sinetron yang terhimpit di antara sekian banyak sinetron gelamor dan tidak napak di layar kaca kita. Berbanding terbalik dengan kenyataan bahwa orang kaya adalah 1 dari 600 orang miskin Indonesia. Sinetron Cemara inilah yang berjasa mengembalikan kesadaran kita dari mimpi dan angan-angan kemewahan. Bahwa di Negara ini, potret keluarganya, adalah gambaran keluarga Cemara.

Sinetron Keluarga Cemara, mungkin karena jumlahnya yang sedikit, pemerintah negara ini merasa lupa kenyataan SDM sebenarnya. Anggaran belanja dalam APBD maupun APBN tentang pendidikan adalah porsi nomor sekian. Status Pembiayaan kampus dipaksakan mandiri sehingga berdampak pada SPP dan biaya kuliah yang mencekik. TK, SD, SMP, dan SMU, membangun image, “Mahal berarti berkualitas”. Maka orang miskin yang tiap hari naik kereta Jabodetabek pun berseloroh, “hidup hari ini, apa sih yang nggak bayar… bernafas aja dua ribu Bogor-Depok”. Tidak salah jika ada yang menyimpulkan “Orang miskin tidak berhak menjadi pintar di Negara ini.

Wajah lusuh pendidikan
Proses penyiapan SDM adalah salah satu proses paling lemah dalam mekanisme kaderisasi kepemimpinan di Negara ini. Kepercayaan yang diberikan kepada kampus dan institusi pendidikan mulai luntur. Tidak heran jika iklan sekolah tinggi adalah jaminan kerja yang mudah dan cepat. Sampai tahun 1996, alumni Fak. Kedokteran—Fakultas idola calon mahasiswa—tercatat mencapai jumlah 9600 orang yang menganggur (dok. Kompas 1998). Kalau dokter saja sudah menganggur, bagaimana dengan lulusan fakultas lain. Ini menggambarkan lemahnya mekanisme komprehensif skenario SDM yang kita miliki.

Biaya pendidikan yang mahal, daya serap tenaga kerja yang rendah, sistem dan kebijakan pendidikan yang tambal sulam, kurikulum yang tidak mampu bersaing dengan tuntutan hidup, budaya sosial yang lemah, media massa yang berseberangan dengan proses pencerdasan, dan segudang problem lainnya adalah fakta dan masalah yang harus di hadapi.

Solusi kuratif
Tidak dipungkiri, banyak pihak di Negara ini yang mencoba berpartisipasi menjawab permasalahan di atas. Berbagai institusi sosial menyediakan berbagai bentuk beasiswa. Akan tetapi sedikit dari berbagai lembaga beasiswa tersebut yang menyusun skenario SDM yang memadai. Semua masih bersifat memberi obat kepada para pasien mal SPP.

Meskipun belum ada kajian yang memadai tentang tingkat efektifitas program beasiswa terhadap keberhasilan mencetak SDM unggul, namun kita bisa berasumsi dari kenyataan di sekitar kita. Bahwa beasiswa tersebut baru sebatas penyambung nafas, belum menjadi penyambung hidup.

Sebagian besar beasiswa diberikan dalam bentuk akad putus. Evaluasi dipercayakan kepada nilai IPK, peringkat, dan lain-lain penilaian kuantitatif. Hal ini disebabkan terutama karena sebagian besar lembaga penyandang beasiswa hanya memiliki kemampuan santunan terbatas. Sebagian yang lain berfikir ‘potong kompas’. Beasiswa dirancang untuk menghasilkan karya, semodel Honda dan Coca Cola. Jika ada yang relatif komprehensif, jumlah sangat terbatas. Sedikit yang dikenal adalah semodel Sampuna, PPSDMS, dan tentu saja Beastudi Etos. Selebihnya belum tampak pada layar masyarakat kita.

Persepktif skenario SDM
Saat ini, jika kita diskusi tentang topik skenario SDM yang produktif di dunia, kita akan merujuk pada 3 institusi, Premasonri Yahudi, Sekolah Katolik Internasional, dan Pergerakan Ikhwanul Muslimin Mesir. Masing-masing memiliki strategi SDM yang beragam, akan tetapi bertemu pada satu titik model pembinaan, yaitu sistem mentor. Sistem ini, dengan dukungan jaringan kerja dan kekuatan pengaruh terhadap pengambil kebijakan, menghasilkan orang-orang yang menentukan arah peradaban.

Mungkin sekarang saatnya untuk menawarkan model dasar ini dalam penerapan santunan beasiswa. Bahwa santunan tidak sekedar memberikan biaya dan sekaligus mewajibkan laporan prestasi akdemik. Santunan saat ini juga menyiapkan perangkat latih dan uji yang mendukung pembinaan yang komprehensif. Mekanisme menyeluruh dengan memanfaatkan teknologi, dan memenuhi semua syarat keberhasilan yang teruji.

Saat ini, mentoring mereka tidak lagi cukup hanya dengan mentoring keagamaan. Mungkin sekarang saatnya mentoring politik, mentoring ekonomi, mentoring kemandirian, mentoring jurnalistik, dan lainnya, yang semua mentornya adalah orang terbaik di bindang masing-masing. Dengan kekuatan jaringan dan dukungan pembiayaan, serta kemampuan managemen yang memadai, mengapa tidak?

Kelak Keluarga Cemara akan berganti wajah menjadi lebih memadai. Mereka tidak lagi harus mengayuh becak untuk membiayai anak-anaknya. Cukuplah Ayah mereka yang merasakan. Sementara generasi selanjutnya, bisa tampil berbeda. Tetapi itu masih bergantung kesiapan lembaga santuan yang mendidik mereka.
Wallahu a’lam