Selasa, 01 Januari 2008

Dhuafa Keren yang Siap Berprestasi

Bagian Pertama

Potret Bangsa yang Terlupakan

Mengelola program Beastudi Etos adalah mengelola realitas Indonesia. Program ini, tidak sekedar menjadi fasilitator dana muzakki. Lebih dalam ia membentuk satu komunitas. Ia menghimpun asa anak bangsa yang mencuat di atas keyakinan yang goyah. Harapan yang tersisa dari besarnya rasa putus asa untuk melanjutkan pendidikan. Ayah Buruh harian dan Ibu tukang cuci panggilan, adalah status yang bahkan lebih murah dibanding harga pagar mewah universitas. Hal tersebut masih diperlemah oleh sikap pasrah masyarakat. Komentar miring ”Miskin aja mo kuliah, ya mbok ojo neko-neko to nduk, kasian Pa’e dan Bu’e”, sangat jamak diterima para mahasiswanya. Namun mereka masih tetap mencoba untuk dapat kuliah. Mereka menekan rasa sanksi dan setengah putus asa, mempercayai sebuah peluang kecil, sepotong informasi dari sepotong halaman koran sisa bungkus jajanan, tentang beasiswa. Seperti itulah realitas umum penerima beasiswa ini.

Berada di dalam komunitas Beastudi Etos, memberikan makna hidup dari angka statistik kemiskinan Indonesia yang 38% itu. Kita akan membaca angka tersebut di tengah ungkapan yang tidak pernah terbayangkan oleh sebagian orang. Ibu Sri Nurhidayah, Direktur LPI menceritakan pengalamannya sehari ditemani Etoser, ”Saya terkejut ketika seorang Etoser (sebutan untuk penerima beasiswa Etos) Universitas Andalas menyatakan, ’Terima kasih ya Bu, baru hari ini saya merasakan makan 3 kali sehari”. Bahwa bagi sebagian orang, makan 3 kali sehari adalah kebiasaan. Namun ada sebagian lain menjalaninya sebagai sebuah kemewahan.

Potret kemiskinan yang dijalani Etoser, adalah ’pernik’ buram yang tertekan gemerlap gaya hidup mahasiswa yang dipasarkan oleh media massa. Mereka bukanlah mahasiswa ala sinetron yang pulang pergi kampus dengan kendaraan pribadi. Mereka tidak menghabiskan cukup banyak waktu di kantin kampus. Mereka tidak terjebak dalam gaya hidup keluar malam untuk kesenangan. Mereka terjun dalam aksi sosial kemiskinan bukan sebagai orang yang berjarak dengan realitas tersebut, melainkan bagian dari realitas tersebut. Saat mahasiswa dengan mudah membayar 10 ribu untuk sarapan, Etoser menyimpannya untuk kebutuhan foto copy bahan kuliah dan internet. Sementara sarapan... jelas tidak semewah harga itu.

Namun apakah dengan semua itu mereka merasa rendah diri. Sama sekali tidak. Komunitas ini menawarkan senyum tulus tentang kehidupan. Mereka menerima kemiskinan seperti kita menerima hujan dan panas setiap hari. Mereka memandangnya sebagai sebuah fakta yang harus di hadapi. Lalu dari kenyataan itulah mereka hidup dan membangun dirinya. Mustahik hari ini adalah muzakki hari esok menjadi misi mereka. Jika ingin belajar menghargai kesempatan, kepada mereka kita bisa bercermin.

Meskipun potret Etoser adalah anomali gaya mahasiswa di sinetron, namun prestasi mereka sama normalnya dengan mahasiswa lain. Dari gaya keseharian mereka, orang pasti tidak akan pernah menyangka bahwa mereka berbeda. Diskusi, riset, kompetisi karya ilmiah, dan prestasi akademik, serta aktivias organisasi dalam dan luar kampus, tidak menyisakan warna kemiskinan pada diri mereka. Tahun 2007, ketika Universitas Indonesia menyelenggarakan pemilihan raya untuk lembaga BEM UI, seorang Etoser Jakarta, Bashori (FE UI ’04) mampu tampil dengan elegan. Meskipun akhirnya yang menang adalah kandidat lain, namun kita bisa mempercayai, bahwa jika diberi kesempatan, mahasiswa dengan latar dhuafa juga mampu bersaing dan berprestasi. Pembuktiannya dilakukan oleh Etoser lain dari Jogya, Budianto (FH UGM ’04). Akhirnya Budianto terpilih sebagai presiden BEM UGM.

Program Beastudi Etos mengelola realitas tersebut, untuk menegaskan kepada masyarakat bahwa kemiskinan bukan jalan buntu kehidupan. Program Beastudi Etos bahkan menjadikan kemiskinan sebagai titik tuju perubahan. Dari realitas kemiskinan itulah program Beastudi Etos menetapkan tujuan pertamanya, yaitu memutus rantai kemiskinan. Sementara semangat para calon Etoser untuk membangun diri, merubah hidupnya, dan berprestasi, difasilitasi sebagai tujuan kedua Beastudi Etos, yaitu menghasilkan generasi mandiri.

Bersambung...

Tidak ada komentar: